Delicious LinkedIn Facebook Twitter RSS Feed

Kesenian Surak Ibra

Kesenian tradisional Surak Ibra berdiri tahun 1920 di Desa Kertajaya, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Garut. Seni buhun Sunda tersebut merupakan penggabungan dari tiga buah kesenian. Yakni seni Catrik, Badeng dan seni Beluk, menggunakan gamelan berupa dog-dog, kendang, dan terompet. Nama Surak Ibra itu sendiri diambil dari nama pendirinya, Abah Ibra, seorang jawara warga Kampung Babakan Panjang, RW. 14, Desa setempat. Konon kabarnya, dibuat untuk mengisi di acara khitanan atau lahiran isteri-isteri demang atau bupati. Kepala Desa Kertajaya, Tatan Asmara, SHI membenarkannya. Menurut dia, seni Surak Ibra pertama kali tampil pada Tahun 1928.
Saat itu, Raden Prabu Wangsa Kusumah II, bupati pertama Bl. Limbangan, mengundangnya pada acara syukuran khitanan putera Bupati Sebagai timbal balik, orang nomor satu di Limbangan itu memberikan sebuah cindera mata atau hadiah berupa bokor yang terbuat dari kuningan dan sebuah batu.
Tahun 1931, diundang Raden Intra Praja, salah seorang Demang asal Tasikmalaya yang mengkhitan anaknya dan diberi hadiah sebuah batu yang menyerupai gigi petir (huntu gelap, red). Tahun 1932, kembali tampil di Kandangwesi-Pameungpeuk atas undangan Raden Kiayi Abdullah putera Dalem Boncel. “ Ketiga barang pemberian bupati/demang tersebut mengandung unsur magic. Keberadaannya masih ada di daerah Cinunuk, Kecamatan Wanaraja di Pak Encur, salah satu putera pendiri Surak Ibra,” ujar Tatan. Ditambahkan Kades, sebelum pelaksanaan mesti dilakukan ritual terlebih dulu di rumah sesepuh selama tiga hari tiga malam dan menyediakan sebanyak 100 jenis buah-buahan dan 100 jenis rujak. Di malam pertama, sesepuh menyebar undangan kepada para leluhur (roh), lalu malam keduanya pemutusan undangan dan terakhir pemurnian pelaksanaan. Selain itu, berdo’a di makam Abah Ibra. “ Setelah semuanya terpenuhi, baru acara pagelaran bisa dilakukan,” katanya. Hal senada dikatakan Endut Suryadi, penggerak Surak Ibra yang juga selaku pimpinan Pencak Silat Gajah Putih Cabang Cibatu. Saat acara tengah digelar, para pelaku Surak Ibra ketitisan/kerasukan arwan (roh) leluhur mereka. Setelah itu diobati oleh sesepuh. Kini, kesenian tradisonal Surak Ibra dipimpin oleh Tasdik, generasi ke-empat putera Abah Ibra. Namun sangat disayangkan, berdasarkan penelusuran kepada pelakunya, pihak pemerintah setempat tak peduli atas keberadaan kesenian buhun asli kota Cibatu tersebut. SURAK IBRA